
Keputusan tersebut dinyatakan final berdasarkan Sidang Ijtima Ulama Fatwa III MUI yang diselenggarakan 24–26 Januari di Padang Panjang, Sumatera Barat. Dengan demikian, fatwa hukum merokok yang dihasilkan dari ijtima para ulama tersebut akan disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat secepatnya.
Ketua Umum MUI KH Sahal Mahfudz mengakui fatwa haram merokok tidak diketuk secara menyeluruh lantaran munculnya perdebatan dan kontroversi antarulama dalam sidang Komisi Fatwa.”Akhirnya,MUI memutuskan hukum merokok antara haram dan makruh.Ini dianggap yang terbaik untuk solusinya.
Yang dipastikan haram hanya merokok bagi wanita hamil dan anak remaja serta di tempat umum. Selebihnya, silakan memutuskan sendiri apakah itu haram atau makruh,” ungkap KH Sahal di Padang kemarin. Menurut dia, implementasi keputusan itu tidak mengikat secara umum. Dengan begitu, masyarakat diminta memilih di antara keputusan itu, dengan mempertimbangkan pengaruh rokok secara pribadi.
Ketua MUI KH Ma’ruf Amin menambahkan, putusan tersebut tidak bisa dikompromikan karena merupakan kesepakatan ulama dalam proses sidang yang panjang dan alot.Menurut dia, fatwa tersebut merupakan jalan tengah atas kontroversi yang terjadi di kalangan masyarakat serta diikuti perdebatan di antara para ulama dalam forum resmi MUI.
”Kita akan intensifkan sosialisasinya kepada masyarakat, terutama mengenai fatwa haram merokok di tempat umum, bagi anak-anak, dan perempuan hamil. Adapun batasan usia anak-anak belum disebutkan di sini,”katanya. Dari pantauan SINDO,sebelum keputusan tersebut ditetapkan, terjadi perdebatan alot saat masih dibahas di Komisi Fatwa.
Bahkan, hasil sidang Komisi B-1 yang membahas masalah tersebut tidak mencapai kesepakatan alias deadlock.Akhirnya, hasil sidang tersebut diserahkan kepada Majelis MUI Pusat. Menurut Wakil Ketua Komisi B-1 Amin Suma,dalam persidangan Komisi B-1 terjadi perdebatan alot antara makruh dan haram.
Ada beberapa alasan yang mengatakan merokok makruh karena warga Indonesia masih banyak yang merokok. ”Selain itu warga Indonesia masih menggantungkan ekonominya pada produksi rokok,” katanya seusai sidang Komisi B-1 di aula Perguruan Diniyyah Puteri Jalan Abdul Hamid Hakim, Padang Panjang.
Sementara untuk opsi haram, mereka beralasan bahwa merokok mendatangkan banyak mudarat (bahaya) daripada manfaat. Mereka mengambil contoh lain seperti minuman keras yang diharamkan karena mendatangkan banyak mudarat daripada manfaat.Mudarat rokok dinilai lebih besar karena membahayakan masa depan generasi muda akibat kecanduan.
”Persidangan ini membahas empat alternatif terkait hukum merokok, yakni haram dan haram dalam kondisi tertentu bagi anak-anak di bawah umur,wanita hamil,serta merokok di tempat umum,”ungkap Amin. Di antara peserta yang tidak setuju dengan fatwa haram rokok adalah Ketua MUI Jawa Timur Abdusshomad Bukhari.
Dia menilai jika merokok diharamkan akan muncul banyak pengangguran, khususnya di Jawa Timur. ”Itu artinya menimbulkan mudarat.Ribuan masyarakat Jatim menggantungkan hidup dengan bekerja di perusahaan rokok. Saya tidak mau bertanggung jawab kalau fatwa tersebut dikeluarkan.
Karena, akan banyak masyarakat Jatim yang menganggur,”tuturnya. Menanggapi hal itu,Ketua MUI Sumatera Utara Abdullah Syah menghargai perbedaan pendapat antarulama meskipun secara pribadi dia sepakat dengan fatwa haram.
Karena itu,dia setuju dengan keputusan akhir yang dikeluarkan MUI yang menyatakan hukum merokok antara haram dan makruh.”Walaupun saya merokok, saya mendukung niat baik ulama lain untuk mengeluarkan fatwa larangan merokok,”ujarnya.
Mengikat Secara Moral
Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Masyarakat (Dirjen Bimas) Islam Departemen Agama Nasarudin Umar mengatakan, fatwa rokok MUI mengikat masyarakat secara moral,bukan secara hukum positif. ”Jadi tidak ada penjara untuk anak-anak yang merokok.Atau penjara bagi wanita hamil yang merokok,” tandasnya.
Menurut dia, anak-anak yang belum memiliki pendapatan sendiri tentu harus dilarang membeli rokok.Sebab dampaknya akan menimpa ekonomi keluarga, terutama kalangan bawah. Dia yakin, MUI sudah mempertimbangkan secara komprehensif keputusan ini. Kalaupun tidak diharamkan secara keseluruhan, pasti MUI punya pertimbangan tertentu.
”MUI mungkin akan melokalisasi terlebih dahulu. Kalau hal ini berjalan efektif dan bermanfaat, siapa tahu pada waktu-waktu mendatang akan diharamkan seluruhnya,” katanya. Dengan putusan tersebut, dia meminta MUI juga memberikan solusi terhadap dampak yang akan diakibatkan.
Pemerintah, lanjut Nasarudin, akan mengambil langkahlangkah koordinasi dengan MUI terkait fatwa ini. Hal senada diungkapkan Ketua Komisi VIII DPR Hasrul Azwar. Menurut dia,keputusan tersebut telah melalui proses panjang dan pertimbangan matang dari para ulama.
Karena itu, dia berharap masyarakat bisa mengikuti keputusan itu tanpa melakukan perdebatan panjang. ”Masyarakat tidak perlu memperdebatkan.Yang penting ikuti saja.Kalau fatwa itu salah dapat satu pahala, kalau benar dua pahala,” katanya kepada SINDO di Jakarta tadi malam.
Rugikan Industri Rokok
Wakil Ketua Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK) Assufar Ahmad menilai fatwa haram rokok akan berdampak besar bagi perekonomian masyarakat yang berpenghasilan dari tembakau atau bekerja di perusahaan rokok. ”Saat ini di Kudus terdapat sekitar 110.000 pekerja rokok yang tersebar di perusahaan- perusahaan rokok besar maupun kecil.
Ratarata mereka menanggung biaya hidup tiga anggota keluarga dalam setiap harinya. Jika perusahaan rokok harus ditutup karena ada fatwa haram, mau dikemanakan mereka,” kata Assufar. Fatwa haram rokok juga dinilai melampaui peta jalan (roadmap) industri rokok yang telah dirancang pemerintah.
Roadmap dirancang dalam tiga konsentrasi. Untuk periode 2007–2010 difokuskan untuk kepentingan pendapatan. Kemudian, periode 2010 hingga 2015 untuk tenaga kerja. Rencana selanjutnya adalah pada lima tahun ke depan, yakni 2015 sampai 2020,yang fokus pada aspek kesehatan.
”Untuk itulah, tidak usah ada fatwa haram rokok. Sebab, urusan rokok ini sudah ada roadmapnya. Di samping itu rokok bukanlah penyebab utama menurunnya kesehatan pada manusia, hanya 20% penyakit yang diakibatkan faktor fisik. Sisanya lebih dikarenakan hati manusia itu sendiri,” tandasnya.
Ketua SPSI Kudus Moch As’ad menambahkan, fatwa haram rokok merupakan ancaman yang serius bagi perusahaan rokok dan perekonomian. Alasannya,dari hasil cukai, perusahaan rokok menjadi salah satu penyumbang terbesar devisa negara. Pada 2009 ini, hasil cukai rokok mencapai Rp50 triliun.
Jumlah itu juga disokong Kabupaten Kudus yang menjadi salah satu pusat usaha rokok di Indonesia. Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Social and Economic Studies (ISES) Indonesia Hasan Aoni Aziz setuju jika rokok dibatasi untuk anak-anak dan ibu hamil. Namun, perlu sikap arif menyikapi fatwa haram bagi yang lain, sebab rokok merupakan sektor usaha yang menyerap jutaan tenaga kerja.
”Buruh rokok dalam kebijakan industri dan perhatian masyarakat harus diletakkan dalam perspektif korban. Sama seperti anak-anak dan perokok pasif, buruh dan petani juga rentan menjadi korban kebijakan. MUI cukup membuat rekomendasi kepada pemerintah agar perlindungan anak-anak dan pasif rokok diatur lebih ketat dalam hukum positif,” kata Hasan Aoni.
Dia menilai bahwa fatwa haram dapat menjadi konsiderans hukum bagi departemen- departemen di pemerintahan maupun pemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang eksesif tanpa mengindahkan kepentingan sosial buruh dan petani tembakau.
”Kami khawatir fatwa haram akan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk melakukan sweeping terhadap rokok maupun perokok, layaknya minuman keras.Mereka merasa sah melakukan itu karena ada fatwa haram rokok,”ujarnya. (zia ul haq/ rendra hanggara/ sundoyo hardi)